Breaking News

maritim

‎Perlukah Meragukan Nasionalisme Orang Batak?

peace     16.57    

‎Perdebatan mengenai nasionalisme Batak kembali mencuat setelah sebuah potongan artikel lama berbahasa Belanda viral di media sosial. Artikel itu berjudul “Bataks tegen Aansluiting bij Republiek” yang berarti “Batak Menolak Bergabung dengan Republik”. Isi artikel tersebut memuat telegram Komite Batak di Medan pada akhir 1945 yang menyatakan keberatan terhadap penggabungan Tapanuli ke dalam Republik Indonesia.
‎Isi telegram itu merujuk kepada pidato Ratu Wilhelmina pada Desember 1942. Para tokoh Batak yang menandatangani, di antaranya T. M. Tampubolon dan L. Hutabarat Pariaungan, meminta agar Tapanuli tidak dipaksakan masuk ke Republik. Mereka menyebut masyarakat Batak sedang menderita akibat kekacauan dan konflik pasca kemerdekaan RI 1945.
‎Namun perlu dicatat, teks tersebut ditulis dalam konteks awal Revolusi Indonesia. Saat itu, Belanda berusaha keras mempertahankan pengaruhnya dan sering menggunakan pernyataan tokoh daerah untuk melemahkan Republik yang baru berdiri. Tidak heran, artikel tersebut dipublikasikan dalam surat kabar Belanda untuk mendukung agenda kolonial.
‎Pertanyaannya, apakah hal itu berarti nasionalisme sebagian orang Batak perlu diragukan? Sejarah kemudian membuktikan sebaliknya. Orang Batak justru tampil di garis depan perjuangan Republik, baik dalam diplomasi maupun perlawanan bersenjata di Sumatra Utara. Tokoh-tokoh seperti Amir Sjarifoeddin Harahap, TB Simatupang, dan Zulkifli Lubis, AH Nasution dll menjadi bagian penting dalam memperkuat Indonesia merdeka.
‎Belakangan, potongan artikel tersebut menjadi pelemik sejarah menarik apalagi jika dihubungkan dengan 'identitas Batak'  pasca invasi Belanda ke Kesultanan Aceh dan Tanah Batak yang dibarengi dengan Kristenisasi atau pemurtadan terhadap orang Islam di daerah tersebut.
‎Jika melihat konteks sekarang, justru orang Batak tampil membela kepentingan RI dalam berbagai isu, meski ada satu dua oknum warganet yang mengaku orang Batak yang bertindak sebaliknya.
‎Coba lihat reaksi keras dari Tagor Aruan, Ketua Umum Komite Independen Batak (KIB), tidak berhubungan dengan organisasi di atas, yang menegur aktivis pro separatisme Papua di media sosial.
‎Tagor menyoroti kasus separatisme di Papua. Ia menyebut nama Cristian Pundulay yang membuat postingan viral membandingkan Batak dengan perjuangan Papua. Menurut Tagor, pendekatan seperti itu sama dengan gaya Veronica Koman yang sering berbicara lantang soal Papua meski bukan orang Papua.
‎“Veronica bukan orang Papua, bahkan tidak pernah tinggal di Papua. Tapi ia sering seakan-akan lebih mengerti nasib dan perkembangan masyarakat Papua dibanding orang Papua sendiri. Bahkan ia menuding Presiden Jokowi tidak melakukan apa-apa, padahal faktanya berbeda,” kata Tagor. (lihat artikel lengkapnya)
‎Menurutnya, narasi yang dibawa Veronica dan kelompoknya cenderung menutup mata atas pembangunan yang sudah dilakukan pemerintah di Papua. “Bapak Jokowi sudah banyak melakukan terobosan untuk Papua, tetapi selalu dipelintir. Sikap seperti ini provokatif dan merusak persatuan bangsa,” tegasnya.
‎Sementara itu, Jhon Tulus Sitompul yang juga tergabung dalam KIB menyampaikan pandangan serupa. Menurutnya, orang-orang seperti Veronica Koman tidak lebih dari provokator yang menyakiti hati rakyat Indonesia. “Ucapan-ucapannya tidak membangun, justru melukai. Kami tidak setuju pelanggaran HAM, tapi mari melihat setiap kasus secara luas, bukan digeneralisasi,” katanya.
‎Jhon menambahkan, pemerintah saat ini sudah melakukan banyak upaya untuk menyelesaikan persoalan Papua maupun pembangunan nasional. “Jangan hanya melihat satu sisi. Kalau kita bicara HAM, mari juga bicara pembangunan, pendidikan, dan kesehatan yang sudah berjalan,” lanjutnya.
‎Dari artikel di atas, terlihat bahwa di era sekarangpun banyak orang Batak yang tidak setuju dengan separatisme di Indonesia dan itu telihat dalam polemik soal Papua.
‎Beberapa diskusi online juga menekankan hal serupa. Menurut mereka, isi telegram yang dimuat di surat kabar Belanda itu tidak bisa dipisahkan dari konteks tekanan politik saat itu. Sebagian tokoh Batak berada di kamp interniran Jepang (Rapwi-kamp) dan dalam posisi sulit, sehingga besar kemungkinan pernyataan mereka dipengaruhi Belanda.
‎Pada masa berikutnya, ribuan pemuda Batak bergabung dalam Tentara Republik Indonesia (TRI) dan ikut berperang mempertahankan kemerdekaan di Sumatra Utara. Medan Area, salah satu pertempuran paling heroik dalam revolusi, banyak diwarnai darah para pejuang Batak, Aceh, Melayu, Mandailing, Jawa dll. Fakta ini tidak bisa dihapus dengan satu artikel kolonial.
‎Selain itu, banyak tokoh Batak yang menempati posisi dan jabatan strategis dalam pemerintahan awal Republik. Ada Zulkifli Lubis, AH Nasution, TB Simatupang dll. Amir Sjarifoeddin tokoh Jong Batak menjadi menteri pertahanan yang memimpin strategi militer melawan Belanda. Ini adalah bukti nyata keterikatan Batak dengan Republik.
‎Dengan demikian, nasionalisme Batak tidak perlu diragukan. Sejarah panjang menunjukkan keterlibatan orang Batak dalam berbagai lini perjuangan bangsa. Artikel kolonial yang viral hanyalah sisa propaganda masa lalu yang tidak relevan lagi di era kini.

‎Berikut terjemahan artikel berbahasa Belanda:
‎---
‎Batak Menolak Bergabung dengan Republik
‎Seruan kepada Sri Ratu
‎Menurut sebuah telegram Aneta dari Medan, Komite Batak yang berada di kamp Rapwi Medan telah mengirim telegram kepada Sri Ratu. Dalam telegram itu, komite menyatakan sebagai berikut:
‎“Dengan alasan yang kuat kami yakin bahwa kami juga berbicara atas nama sebagian besar penduduk Tapanuli, yang saat ini menderita karena kekacauan dan teror. Kami dengan hormat memohon bantuan Sri Ratu agar mengakhiri penderitaan rakyat kami, sehingga pembangunan kembali tanah kami yang porak-poranda dapat terlaksana dalam kerja sama erat antara orang Belanda dan Batak secara demokratis sejati, sebagaimana dimaksud dalam pidato Sri Ratu pada Desember 1942.
‎Izinkanlah kami menyampaikan keberatan serius kami terhadap penggabungan Tapanuli ke dalam ‘Republik Indonesia’.”
‎Telegram ini ditandatangani oleh T. M. Tampubolon dan L. Hutabarat Pariaungan.
‎Soekarno “menuntut” pengakuan atas kekuasaan de facto-nya di Sumatra...
‎(Red. N.C.)

0 komentar :

Terbaru

Defense

BCAS

Local

TSCFWA

Regional

Global

© 2011-2014 ACDI. Designed by Bloggertheme9. Powered by Blogger.